HeadlineInternasional

[In-Depth] Masih Relevankah Menyuarakan Isu Kesetaraan Hak Perempuan di Era Revolusi Industri 4.0?

337
×

[In-Depth] Masih Relevankah Menyuarakan Isu Kesetaraan Hak Perempuan di Era Revolusi Industri 4.0?

Share this article
Pertemuan Pelajar Perempuan Internasional di University of York, Inggris (8/3/23).
Pertemuan Pelajar Perempuan Internasional di University of York, Inggris (8/3/23).

G24NEWS.TV, YORK — Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day jatuh pada tanggal 8 Maret. Peringatan global ini sebagai bentuk perayaan terhadap prestasi wanita tanpa memandang asal, etnis, bahasa, budaya, dan ekonomi serta pandangan politik.

Dilansir situs UN Women, Hari Perempuan Internasional 2023 mengusung tema “DigitALL: Innovation and technology for gender equality” atau “DigitALL: Inovasi dan teknologi untuk kesetaraan gender”. Tema tersebut akan berfokus pada peran teknologi dan pendidikan digital secara global bagi kaum perempuan.

Sementara itu, situs International Women’s Day mengusung tema #EmbraceEquity atau #MerangkulKesetaraan untuk Hari Perempuan Internasional 2023. Tema tersebut merupakan ajakan untuk menantang stereotip gender, menentang diskriminasi serta mengupayakan inklusi atau pendekatan secara terbuka.

Namun, apakah isu ini masih relevan disuarakan di-era revolusi industri 4.0 saat ini, di saat (sepertinya) perempuan sudah bisa mendapatkan akses pendidikan, bekerja, dan mendapatkan hak lainnya yang sebelumnya sulit didapatkan oleh perempuan?

Menakar Pentingnya Isu Hak Kesetaraan Perempuan dari Perspektif Pelajar Internasional

Dengan mengumpulkan opini dari beberapa perwakilan pelajar Internasional yang sedang menyelesaikan program magisternya di Inggris dari berbagai macam latar belakang dan asal negara, maka kita akan bisa lebih menakar apakah isu hak kesetaraan gender masih relevan didiskusikan atau sebaliknya.

Membicarakan isu perempuan juga penting untuk mengikutsertakan pandangan dari pihak laki-laki, sehingga opini-opini berikut berasal dari perwakilan mahasiswa/i dari University of York, Inggris, Rabu (8/3/23).

Isu Hak Kesetaraan Perempuan di Korea Selatan

 Di Korea Selatan, isu ini menjadi isu politik yang sedang memanas. Berikut adalah opini ChangHo, salah satu perwakilan mahasiswa internasional dari Kota Anyang, Korea Selatan,

“Isu (kesetaraan hak perempuan) ini masih sangat relevan untuk dibahas karena saat ini di Korea Selatan, sedang ada upaya dari presiden kami (Yoon Suk-Yeol) untuk mendorong penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga”, ujar Changho.

“Jadi kesetaraan hak perempuan adalah isu politik yang serius di Korea Selatan, saat ini,” sambungnya.

Dilansir dari The Guardian, sejak 2022 di pemerintahan Korea Selatan sedang terjadi perdebatan terkait penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga.

Yoon menuduh Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga memperlakukan pria seperti “calon penjahat seks” dan berjanji untuk memberlakukan hukuman yang lebih keras untuk klaim palsu tentang kekerasan seksual — sebuah langkah yang menurut para pengamat akan menghalangi lebih banyak wanita untuk melapor.

Yoon juga berusaha menepis kekhawatiran bahwa penghapusan kementerian akan memundurkan perjuangan hak-hak perempuan di Korea Selatan saat berjuang untuk mengatasi kesetaraan gender. Ia juga membela rencananya bahwa hal ini akan mengarah pada peningkatan hak-hak perempuan.

Isu Hak Kesetaraan Perempuan di China

Berbeda dengan kondisi di Korea Selatan, di China isu ini lebih kepada isu sosial budaya China Era Baru. Yu Xiong merupakan salah satu mahasiswi Internasional dari Kota Chongqing, China. Berikut adalah jawaban dari Yu ketika ditanya bagaimana isu hak kesetaraan perempuan di China,

“Di era (China) baru, perempuan memiliki hak yang sama dan bisa bersaing dengan laki-laki. Namun, masih ada sesuatu yang menunjukkan (ada) kesulitan yang harus dihadapi perempuan, seperti ketika mereka menikah dan memiliki keluarga sendiri, perusahaan akan khawatir apakah mereka dapat berkonsentrasi pada pekerjaan atau dapat menyebabkan kerugian perusahaan,” sambungnya.

“Menurut saya masih diperlukan upaya lebih untuk mewujudkan kesetaraan gender. Karena jika memang ada kesetaraan, perempuan tidak perlu (harus) bekerja keras untuk membuktikan dirinya setara dengan laki-laki,” jawab Yu saat ditanya apakah isu kesetaraan gender masih relevan dibicarakan saat ini.

Baca Juga  [IN-DEPTH]: Menelisik “Gender Gap” dalam Humor, Masih Kentalkah Budaya Patriarki?

“Selain itu, perempuan masih sering diragukan atas kemampuannya memimpin. Mungkin itu karena secara genetik (pemahaman) dari zaman dulu hingga sekarang, bahwa perempuan (memiliki sifat) yang lebih sabar dan hati-hati, sedangkan pria lebih kuat”, sambungnya.

“dan, ada beberapa ide tradisional yang tersisa dari sejarah. Misalnya, perempuan perlu punya anak dan hanya fokus ke keluarga saja. Tapi di era baru, (menurut saya), orang-orang sudah mulai berpikir itu bukan cara yang tepat, perempuan juga punya pilihan untuk menentukan dan menjalani hidup mereka”, kata Yu.

Berbeda halnya dengan pendapat dari salah satu perwakilan mahasiswa Internasional dari Kota Wuhan, China, bernama Chris, yang lebih menekankan opininya pada sistem nilai dan keseimbangan antara mendapatkan hak juga menunaikan kewajiban,

“Menurut saya kesetaraan gender tetap penting meskipun perempuan sudah bisa mendapatkan hak mereka. Sekalipun perempuan memiliki hak yang sama, saya tetap berharap bahwa dengan sistem nilai yang ada, kita harus lebih banyak memberikan perhatian pada kondisi (tantangan) kehidupan perempuan saat ini, dan juga dapat lebih menghargai perempuan,” ucap Chris.

“Cara terbaik untuk menghadirkan ‘kesetaraan antara laki-laki dan perempuan’ adalah dengan memaksimalkan kesempatan yang setara, dan (memperhatikan) juga kewajiban masing-masing yang harus dilakukan oleh mereka,” sambungnya.

Isu Hak Kesetaraan Perempuan di El Salvador

Sama halnya dengan China, negara El Salvador masih harus berjuang dalam merealisasikan konsep kesetaraan isu hak perempuan di tingkat sosial budaya. Berikut adalah opini dari Esmeralda Lopez, mahasiswi Internasional dari El Salvador,

“Dalam dekade terakhir status perempuan di El Salvador telah mengalami perubahan positif yang lebih cepat, sebagian besar didorong oleh gerakan feminis global tetapi juga oleh perempuan Salvador yang beberapa dekade lalu dan membuka jalan bagi generasi saat ini, menuntut untuk menerima tingkat pendidikan yang sama dengan laki-laki dalam keluarga mereka, meskipun pada saat itu berarti upaya ganda bagi mereka, karena mereka harus memenuhi pekerjaan rumah tangga yang merupakan bagian dari ‘peran feminin’ dan komitmen akademik”, ujar Esme.

“Saat ini kondisinya memungkinkan kita untuk memiliki generasi dimana kesenjangan pendidikan dan profesional menjadi semakin kecil dan dengan pandangan positif untuk mencapai kesetaraan dalam hal kondisi kerja. Sayangnya, hal ini masih belum diterjemahkan dengan cara yang sama di tingkat sosial budaya, karena perempuan masih dikondisikan untuk harus mematuhi nilai-nilai dan peran tradisional, yang secara langsung berdampak pada hubungan interpersonal mereka dengan keluarga, teman, bahkan dapat berdampak pada kehidupan citra mereka di tempat kerja,” sambungnya.

“Isu ini jelas masih relevan dan merupakan masalah yang menyangkut masyarakat secara keseluruhan, termasuk laki-laki, yang sebagian besar secara historis memiliki posisi istimewa dan seringkali berkuasa atas perempuan. Partisipasi laki-laki dalam proses ini tidak hanya penting, tetapi juga memiliki peran kunci untuk menjadikan laki-laki sekutu dalam pemberdayaan perempuan”, kata Esme.

“Saya percaya bahwa pemerintahan dengan keterwakilan perempuan yang rendah tidak hanya tidak seimbang dalam hal kesetaraan gender, tetapi juga tidak mewakili mayoritas penduduknya. Pemerintah kontemporer harus memastikan dalam administrasinya dan lebih luas lagi dibidang politik, keterwakilan perempuan dalam upaya memahami, menangani, dan menghasilkan solusi untuk masalah masyarakatnya saat ini”, opini Esme saat ditanya pentingnya representatif perempuan yang setara bagi performa kerja pemerintahan.

Baca Juga  Kiprah Pemimpin Daerah Partai Golkar: Indah Putri Indriani, Bupati dengan Segudang Inovasi

Bagaimana Dengan Isu Hak Kesetaraan Perempuan di Indonesia?

Berdasarkan Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945, Indonesia sudah lama mengafirmasi tentang kesetaraan antara warga negara tanpa memandang gender, sebagaimana berikut; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Salah satu pahlawan perempuan Indonesia, R.A. Kartini juga telah menyampaikan harapannya agar perempuan tidak menjadi warga negara ‘kelas dua’ atau berada di bawah laki-laki, ia ingin adanya kesetaraan.

Namun, berdasarkan hasil riset dari World Economic Forum dalam Global Gender Gap Report 2022, kepemimpinan di Indonesia pada tahun 2022, perempuan yang berhasil menempati posisi legislator, pejabat senior dan manajer hanya 25,76%.

Sedangkan laki-laki memiliki persentase yang jauh lebih besar yaitu 67,56%. Sehingga, memiliki selisih 35,12% dengan laki-laki. Dari hasil riset tersebut, terdapat korelasi dengan stereotip bahwa masih banyak anggapan bahwa perempuan tidak mampu menjadi pemimpin. Hal ini juga sempat disinggung oleh presenter dan jurnalis, Najwa Shihab, (1/3/23).

“Berbagai riset menyatakan bahwa organisasi yang memiliki pemimpin perempuan lebih banyak ternyata menghasilkan performa organisasi yang jauh lebih besar. Tapi apapun kata riset, tetap saja kesempatan perempuan untuk memimpin terbatas karena dianggapnya perempuan tidak layak jadi pemimpin,” ujar Najwa.

“Selain itu, upah atau gaji yang didapatkan oleh perempuan saat ini berdasarkan riset (secara umum) juga lebih rendah dibandingkan laki-laki walaupun mereka melakukan pekerjaan yang sama kerasnya”, sambungnya dalam channel YouTube Najwa Shihab ‘Susahnya Jadi Perempuan Part 2’.

Kemudian, World Economic Forum (WEF) melaporkan kesenjangan gender di Indonesia semakin memburuk sejak 2006. Pada 2006, Indonesia menduduki peringkat 68 dari seluruh negara yang ada. Namun, pada 2020, peringkat Indonesia merosot ke 85. Dari empat indikator (partisipasi ekonomi, akses pendidikan, akses kesehatan, dan partisipasi politik) yang dipakai oleh WEF, Indonesia mengalami penurunan hampir di seluruh indikator.

Selain itu, di dalam laporan World Bank 2020 mengenai kesetaraan gender di Indonesia terdapat paradoks yang memperlihatkan bahwa meskipun perempuan di Indonesia memiliki akses terhadap pendidikan, hal itu tidak berlanjut dengan tingginya partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi. Sehingga, kesetaraan gender belum dicapai sepenuhnya.

Laporan tersebut lebih lanjut menjelaskan bahwa hal ini terkait erat dengan norma dan praktik yang berlaku di dalam masyarakat mengenai peran laki-laki dan perempuan sehingga memengaruhi kesempatan perempuan terkait pendidikan, profesi, dan akses terhadap infrastruktur.

Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kesetaraan gender, di antaranya usia pernikahan yang terlalu dini serta pembagian tanggung jawab mengasuh anak yang tidak seimbang. Laporan tersebut juga menyebutkan faktor struktural seperti banyak perempuan bekerja di sektor informal dan kegiatan ekonomi yang produktivitasnya rendah.

Dengan beberapa hasil riset diatas, maka pentingnya merumuskan kebijakan berperspektif kesetaraan dan keadilan gender sesungguhnya mengacu pada agenda kemanusiaan. Sehingga, di era revolusi industri 4.0, perempuan dapat memiliki peluang besar untuk berperan aktif dan berkontribusi dengan menghilangkan budaya patriarki, meningkatkan dan memperluas akses pendidikan dan pelatihan, dan meningkatkan literasi terutama literasi digital.

Perjuangan perempuan untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan merupakan fenomena global. Terdapat kesamaan perjuangan gerakan perempuan di berbagai belahan dunia, terutama untuk mendapatkan hak-hak politik, memajukan pendidikan, serta mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam ruang domestik.

banner 325x300