G24NEWS.TV, JAKARTA – Anggota DPR dari Fraksi Golkar Dedi Mulyadi mengungkapkan selama ini negara terlanjur memberi label pada para petani menjadi kelompok yang harus terus miskin dan tidak akan pernah membaik kondisi ekonominya.
Dia menyontohkan apa yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang membuat petani, terutama petani beras terus menjadi kelompok miskin.
“Di mana brandingnya? Yaitu ketika panennya tinggi maka harganya murah. Ketika panennya rendah maka impor masuk,” ujar dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IV dengan Kementerian Pertanian, beberapa waktu lalu.
Dedi Mulyadi yang berasal dari Dapil Jabar VII meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang dan Purwakarta ini melanjutkan, citra petani sebagai kelompok miskin dan marginal terjadi salah satunya karena desain berpikir. Yaitu dimasukkan dalam pikiran masyarakat bahwa kenaikan harga beras dalam jumlah tertentu akan membawa dampak inflasi yang besar.
“Kalau mau lebaran yang diomongin inflasi pasti beras, cabe, bawang. Tapi harga pakaian naik tidak dianggap inflasi, harga mobil sewa naik ketika mudik tidak dianggap inflasi. Ini kan brand yang diarahkan kepada petani kita untuk menjadi kelompok marjinal dan selamanya akan miskin,” lanjut Dedi.
Dedi Mulyadi menyebut hidup petani lebih berkah dibanding pekerja yang berpendapatan lebih tinggi. “Walaupun mereka miskin dari statistik BPS, hidupnya jauh lebih berkah dibanding yang tinggi pendapatannya,”
“Kenapa? karena sampai hari ini tidak ada petani yang berduyun-duyun ke DPR untuk berdemonstrasi tentang nasibnya,” ujar mantan Bupati Purwakarta itu.
Kelangkaan Pupuk di Beberapa Daerah
Dedi Mulyadi yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPR mengungkapkan masalah lain yang dialami petani yakni kesulitan untuk mendapat pupuk. Pupuk menurut dia adalah hal penting yang harus didapatkan petani untuk menunjang produktivitasnya.
“Walaupun kita berteori tentang digitalisasi pupuk, faktanya di daerah pupuk sulit diperoleh, terutama petani kecil yang garapannya kecil,” ujar Dedi.
Dedi heran, karena hingga kini pupuk terus menjadi masalah dalam dunia pertanian Indonesia, sehingga terkesan tidak ada keseriusan untuk menangani masalah pertanian dari hulu sampai hilir.
“Kalau problem ini tidak selesai, sampai kapanpun problem pertanian Indonesia tidak akan pernah beres. Dari hulu dengan hilir tidak serius menanganinya,” ujar dia.
Dedi mencurigai, di balik menurunnya produktivitas petani Indonesia ada pihak yang bergembira, yaitu para importis beras.
Dedi Mulyadi menyebut statistik dan anggaran Kementerian Pertanian perlu diarahkan untuk menyelesaikan masalah dasar ini, agar tidak berlarut-larut.
“Ke depan angka-angka statistik dan anggaran di Kementerian Pertanian semestinya difokuskan pada aspek-aspek yang menjadi kebutuhan dasar,” ujar dia.
“Kalau yang menjadi komoditi kebijakan beras, maka itu menjadi fokus utama kita. Agar kita tidak ngomong dari tahun ke tahun, lebaran ke lebaran, beras, cabe, bawang. itu saja. Seolah negeri ini masalahnya tidak pernah bergeser makanan pokok kita,” lanjut Dedi.