EkonomiHeadlineInternasional

Upaya The Fed Menahan Laju Inflasi dan Dampaknya Bagi Indonesia

244
×

Upaya The Fed Menahan Laju Inflasi dan Dampaknya Bagi Indonesia

Share this article
FBDBFEBEE
7255FB26-D519-4035-B933-2751F66EBEE0

York — Inflasi akhirnya mulai melambat, meningkatkan harapan bahwa The Federal Reserve (The Fed)  dapat melakukan soft landing, dimana The Fed mampu menaikkan suku bunga dan melemahkan ekonomi sembari juga menghindari resesi ekonomi yang menyakitkan yang terjadi akhir ini.

Meskipun harga konsumen masih jauh lebih tinggi daripada tahun lalu, harga sudah mulai mereda. Pada November, harga naik 7,1 % dari tahun sebelumnya dan  0,1 % dari bulan Oktober ke November. Berdasarkan Laporan Indeks Harga Konsumen dirilis pada hari Selasa (13/12/22). Dimana kenaikan harga lebih lambat dari beberapa bulan terakhir, ketika harga naik 7,7 % pada bulan Oktober dan 8,2 % di bulan September.

Soft landing di dalam dunia ekonomi sebetulnya jarang terjadi. The Fed terakhir kali melakukannya pada tahun 1994, suatu peristiwa yang oleh beberapa ekonom disebut sebagai soft landing yang “sempurna”. Saat itu terjadi inflasi sekitar 3 %, dan The Fed yang diketuai oleh Alan Greenspan mencoba menstabilkan harga sebelum melonjak lebih tinggi. Dalam serangkaian kenaikan suku bunga yang disinyalir terjadi pada bulan Februari 1994 dan berakhir pada bulan Februari 1995, para pembuat kebijakan secara tegas melipat gandakan suku bunga menjadi 6 %.

Hasilnya sukses. Perekonomian terhindar dari resesi, inflasi stabil sekitar 3 % sebelum turun, dan sebagian besar pengangguran terus menurun pada akhir 1990-an. Meskipun pertumbuhan ekonomi melemah pada paruh pertama tahun 1995, namun dapat pulih kembali, dan periode ekspansi yang kuat menyusul. The Fed kemudian menurunkan suku bunga menjadi 5,25 % pada Januari 1996 sebelum menaikkannya lagi menjadi 5,5 % pada Maret 1997.

Bagaimana The Fed Mampu Melakukannya?

Pada tahun 1990-an dimulai dengan resesi ekonomi yang singkat dan dikaitkan dengan beberapa faktor; lonjakan harga minyak setelah invasi Irak ke Kuwait, hal ini menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh The Fed untuk menurunkan inflasi, dan akumulasi utang dari tahun 1980-an. Sehingga pada akhirnya tepat pada tahun1994, ekonomi berkembang dan pasar tenaga kerja menjadi lebih kuat. Namun, terdapat kekhawatiran dari pengamat ekonomi yang melihat bahwa inflasi akan terus naik.

Ada beberapa perbedaan utama antara saat ini dan pada tahun 1994 lalu. Terutama, upaya The Fed untuk menstabilkan inflasi daripada menurunkannya secara substansial. Terdapat berbagai pelajaran yang dapat diambil dari apa yang dilakukan oleh The Fed saat ini dan apa yang beberapa ekonom yakini sebagai satu-satunya soft landing. Alan Blinder, selaku Wakil Ketua Dewan Gubernur The Fed (Juni 1994 – Januari 1996) mengatakan bahwa Bank Sentral (Central Bank) mencapai soft landing pada saat itu dengan “keberuntungan dan keterampilan”.

Blinder, yang saat ini sebagai seorang profesor ekonomi di Universitas Princeton, mengatakan bahwa pemerintah dan pemangku kebijakan khawatir tentang inflasi yang melonjak lebih tinggi pada saat itu karena ekonomi yang sedang kuat. Greenspan dan anggota lainnya dari Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee), yang menetapkan suku bunga dana federal, memutuskan untuk mulai menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya dalam lima tahun.

The Fed beruntung tidak mendapatkan “kejutan serius” yang mengguncang ekonomi pada saat itu dan inilah yang membedakan dari resesi ekonomi yang terjadi saa ini, kata Blinder, karena pandemi terus mendisrupsi produksi di seluruh dunia. Perang di Ukraina juga menyebabkan lonjakan harga pangan dan energi, yang cenderung lebih fluktuatif dan sulit ditangani.

Blinder mengatakan The Fed juga berhasil karena para pejabat menarik kembali kenaikan suku bunga mereka. Ada banyak perdebatan di antara anggota komite tentang kapan harus menghentikan kenaikan suku bunga dan berapa suku bunga yang ditentukan untuk memperlambat permintaan dan menstabilkan inflasi. Ia juga menambahkan bahwa itu adalah “kesalahan klasik” bagi Bank Sentral untuk melakukan pengetatan berlebihan karena dampaknya belum mampu dirasakan dalam perekonomian.

Hal ini tentunya merupakan tindakan penyeimbangan yang sulit bagi The Fed. Pejabat berisiko memperlambat ekonomi secara dramatis dan menyebabkan lonjakan pengangguran yang menyakitkan apabila mereka menaikkan suku bunga terlalu agresif. Tetapi The Fed juga berisiko melakukan terlalu sedikit dan membiarkan inflasi menjadi perlengkapan ekonomi yang lebih permanen, yang menurut Ketua Fed, Jerome Powell, bisa lebih sulit untuk diatasi di masa depan.

Meskipun pejabat The Fed dapat menghindari resesi setelah kenaikan suku bunga pada tahun1994, Blinder mengatakan pada saat itu tidak jelas apakah mereka dapat melakukannya. Selalu ada risiko bahwa model dan prediksi ekonomi bisa mati atau guncangan dari luar bisa menyebabkan lonjakan inflasi.

Berdasarkan buku yang di tulis oleh Blinder, A Monetary and Fiscal History of the United States (1961–2021), Blinder menuliskan bahwa dia dan Janet Yellen, Gubernur The Fed, dan sekarang menjabat sebagai Menteri Keuangan, lebih khawatir bahwa The Fed mungkin akan menaikkan suku bunga secara berlebihan, meskipun tidak satu pun dari mereka yang secara resmi tidak setuju. Blinder mengatakan komite itu adalah “kelompok yang cukup hawkish” atau kelompok dengan kebijakan moneter yang cenderung kontraktif seperti menaikkan suku bunga atau mengurangi neraca bank sentral saat itu sehingga, banyak anggota lebih peduli untuk membatasi inflasi.

Baca Juga  Legislator Golkar Melkiades Jamin RUU Kesehatan Lindungi Nakes

Disisi lain biasanya dilakukan untuk mengadvokasi suku bunga yang lebih rendah untuk merangsang ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja. Blinder mengatakan dia dan Yellen adalah dua orang yang paling vokal di komite itu, meskipun ada beberapa presiden bank yang memiliki pandangan yang sama tetapi tidak menyampaikan secara terbuka.

“Kami tidak ingin melakukan lebih banyak kerusakan pada ekonomi riil daripada yang kami rasa harus kami lakukan,” kata Blinder.

Blinder mengatakan Greenspan tidak terlalu vokal tentang tujuannya untuk inflasi pada saat itu, tetapi mantan ketua Fed itu juga tidak ingin berlebihan.

“‘Merpati rahasia’ itu adalah Alan Greenspan,” kata Blinder. “Dia suka memainkan ‘peran elang super’ dan dia menginginkan inflasi nol, tetapi dia tidak melakukannya. Dia cukup puas dengan inflasi 3 %”.

Vincent Reinhart, yang merupakan kepala sektor analisis perbankan dan pasar uang The Fed pada tahun 1994, mengatakan situasinya serupa sebagian karena The Fed cukup agresif dengan kenaikan suku bunganya saat itu: selain tahun ini, terakhir kali The Fed menaikkan suku bunga dengan tiga perempat poin persentase pada tahun 1994.

Tapi Reinhart, yang saat ini menjabat kepala ekonom dan ahli strategi makro di Dreyfus dan Mellon, juga mengatakan soft landing pada tahun 1994 berbeda dalam banyak hal. The Fed bertindak lebih dulu pada saat itu, sedangkan sekarang, pembuat kebijakan “mengejar inflasi yang meningkat”. Dia juga mengatakan dia memperkirakan The Fed akan lebih agresif dengan kenaikan suku bunga untuk menurunkan inflasi.

“Powell dan rekan-rekannya bereaksi terhadap inflasi sebesar 9 %,” kata Reinhart. “Skala masalahnya sangat jauh berbeda”.

Membaca Potensi di Tengah Sulitnya Mencapai Soft Landing Ekonomi Saat Ini

Dewasa ini, semakin banyak ekonom yang memprediksi bahwa ekonomi akan mengalami resesi di tahun selanjutnya. Sementara itu, juga terdapat beberapa ekonom yang percaya bahwa resesi lebih mungkin terjadi saat ini. Namun masih mungkin bagi The Fed untuk melakukan soft landing lagi kali ini.

Reinhart mengatakan tidak mungkin The Fed akan melakukan soft landing lagi sekarang, dan ada banyak alasan untuk percaya bahwa Amerika Serikat akan memasuki resesi dalam 12 bulan ke depan. Bank-bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga, yang telah berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan global. Menurutnya, pandemi dan perang di Ukraina juga mempersulit The Fed untuk mengatasi kenaikan harga dan kendala pasokan. Meski begitu, Reinhart mengatakan dia memperkirakan resesi akan relatif terjadi secara lebih ringan.

Blinder mengatakan dia yakin The Fed dapat mencapai soft landing atau resesi ringan tahun depan  karena beberapa alasan. Dia mengatakan komite saat ini tampaknya lebih dovish (mendukung diskusi atau solusi damai lainnya dalam hubungan politik daripada penggunaan kekerasan) dan tidak ingin “menghancurkan perekonomian” dengan kenaikan suku bunga. Dia juga mengatakan banyak faktor yang mendorong inflasi lebih tinggi tampaknya menghilang karena rantai pasokan bersih dan harga minyak turun dari puncaknya.

“Tingkat pengangguran, yang mencapai 3,7 %, juga mendekati titik terendah setengah abad dan pasar tenaga kerja masih kuat, artinya masih ada ruang untuk melambat”, kata Blinder.

Dia juga mengatakan The Fed memiliki rekam jejak yang lebih baik dalam melakukan soft landing daripada yang dikreditkan. Dari 11 contoh The Fed melawan inflasi selama 60 tahun terakhir, itu mencapai soft landing atau mendekati dalam enam kasus, tulis Blinder dalam Wall Street Journal. Di lima lainnya, katanya, The Fed tidak berusaha untuk mencapai soft landing untuk menurunkan inflasi, atau karena peristiwa eksternal terjadi di luar kendali The Fed. Pada tahun1970-an dan awal 1980-an, misalnya, Ketua Fed saat itu Paul Volcker berniat menurunkan inflasi dua digit dan merekayasa dua resesi. Blinder mengatakan Volcker tahu biayanya akan tinggi untuk menurunkan inflasi pada saat itu.

Dan pada tahun 1988, The Fed kemungkinan akan melakukan soft landing jika bukan karena kejutan ‘minyak besar’ yang terjadi setelah invasi Saddam Hussein ke Kuwait pada Agustus 1990, katanya. Dia juga mengatakan The Fed mencapai soft-ish landing setelah mulai menaikkan suku bunga pada September 1965 hingga November 1966, The Fed menaikkan suku bunga dari sekitar 4 % menjadi sekitar 5,75 %, yang menstabilkan inflasi sekitar 3 % untuk sementara waktu. Tapi ada beberapa perselisihan tentang kasus itu karena inflasi lebih tinggi dan mencapai 6 % pada tahun 1970.

Namun, Blinder mencatat bahwa The Fed sekarang mencoba menurunkan inflasi yang sudah tinggi, yang berarti bahwa bank sentral harus “memukul perekonomian sedikit lebih keras dengan suku bunga”.

Bill English, Mantan Direktur Divisi urusan Moneter di The Fed dan seorang ekonom di Universitas Yale, mengatakan, untuk menurunkan kenaikan harga kali ini merupakan tantangan yang lebih besar karena perekonomian dalam kondisi yang tidak biasa. Pejabat The Fed pada awalnya mengklaim bahwa lonjakan harga akan bersifat “sementara”, tetapi mereka terkejut dengan betapa sulitnya mengontrol inflasi.

Baca Juga  Belajar Falsafah 'Lengser Keprabon, Mandeg Pandhito' dari Pak Harto     

English mengatakan efek lagging dari kebijakan moneter juga mempersulit jalan The Fed untuk mencapai soft landing, karena biasanya tidak terlihat selama sekitar satu tahun. Jika pejabat tidak berbuat cukup untuk menahan inflasi, konsumen dan bisnis dapat mulai melakukannya mengharapkan inflasi yang lebih tinggi di masa depan, yang selanjutnya akan memicu harga yang lebih tinggi, karena pekerja kemungkinan besar akan meminta kenaikan upah dan memberikan tekanan yang lebih besar pada inflasi.

Prospek inflasi telah membaik dalam beberapa bulan terakhir, bagaimanapun, karena masalah pasokan telah mereda dan beberapa data menunjukkan bahwa inflasi sewa dapat melambat dalam beberapa bulan mendatang, kata English. Itu berarti The Fed berpotensi memperlambat ekonomi dan meningkatkan pengangguran tanpa menyebabkan resesi, katanya.

“Itu bisa terjadi, tapi sulit,” kata English.

Goldman Sachs menunjukkan transisi ke pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan, yang dianggap telah terjadi dan bakal bertahan lama. Bank investasi internasional itu berharap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS sekitar 1 % selama setahun kedepan. Terlepas dari laporan yang terkesan terlalu percaya diri dan lebih kuat dari perkiraan pasar, Goldman Sachs menilai penyeimbangan di sektor pasar kerja tampak sudah berada di jalur yang tepat.

“Langkah baru-baru ini yang paling menggembirakan di jalan sempit menuju soft landing adalah perlambatan pertumbuhan upah nominal,” tulis Hatzius.

Kendati demikian, masalah terbesar yang dihadapi ekonomi AS adalah inflasi yang tinggi. Ini masih menjadi tantangan utama dan momok yang menakutkan.

Apa Dampaknya Bagi Indonesia?

The Fed akan tetap agresif untuk jangka waktu yang lama. Efeknya, ini akan menyebabkan dollar AS masih dalam tren menguat. Akan tetapi, untuk pasar domestik Indonesia sendiri, perekonomian Indonesia nampaknya memiliki potensi cukup besar untuk mengalami soft landing. Kondisi soft landing ini berarti, pertumbuhan ekonomi tidak bisa naik signifikan, tetapi juga tidak juga turun tajam. Sejatinya periode turbulensi Amerika Serikat, Consumer Sentiment Index (CSI) di Indonesia memiliki tren dan kencederungan yang meningkat. Bank Indonesia (BI) sendiri mengambil langkah untuk mengetatkan kebijakan moneter, yaitu dengan kembali meningkatkan suku bunga acuan di sisa tahun ini. Harapannya, langkah BI ini akan mereduksi terjadinya peningkatan inflasi. Sedangkan dari sisi fiskal, pemerintah bisa terus menjaga daya beli masyarakat terutama yang masyarakat menengah ke bawah dan dalam kondisi tergolong rentan dengan jaring pengaman sosial.

Berdasarkan hasil survei Bloomberg, Indonesia masuk dalam daftar 15 negara yang berisiko mengalami resesi. Dalam daftar tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-14. Sri Lanka yang mengalami ketidakstabilan ekonomi dan sosial baru-baru ini menempati posisi pertama negara berpotensi resesi dengan presentase 85%, New Zealand menyusul dengan preserntase 33%, Korea Selatan dan Jepang dengan presentase 25%. Sedangkan China, Hongkong, Australia, Taiwan, dan Pakistan dengan presentase 20%, Malaysia 13%, Vietnam dan Thailand 10%, Filipina 8%, Indonesia 3%, dan India 0%.

Menanggapi survei tersebut, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani mengatakan dibandingkan dengan negara-negara lain dalam daftar itu, Indonesia memiliki indikator ekonomi yang lebih baik.

“Indikator neraca pembayaran kita, APBN kita, ketahanan dari GDP (produk domestik bruto), dan juga dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga, serta monetary policy kita relatifdalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3%, dibandingkan negara lain yang potensiuntuk bisa mengalami resesi jauh di atas, yaitu di atas 70%,” jelas Sri Mulyani dalamkonferensi pers di Bali, Rabu (13/07).

Sedangkan ketahanan Indonesia dalam menghadapi ancaman resesi ekonomi global tetaplah memiliki potensi, pasalnya setelah menghadapi pandemi Covid-19, Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan reanalisis dan reimpementasi bagi penguatan dan pemulihan ekonomi. Melalui sektor ketenagakerjaan Indonesia akan menghadapi tantangan ancaman resesi global pada 2023 yang sudah didepan mata.  Hal ini menimbulkan sinyal dari melemahnya berbagai perusahaan-perusahaan Indonesia yang melakukan PHK Karyawan, tercatat berbagai perusahaan nasional seperti, Shopee, GoTo, Sirclo, JD.ID, Ruangguru dan beberapa perusahaan lainnya yang melakukan pemutusan kerja terhadap karyawan.

Faktor utamanya adalah makro ekonomi global yang terus mengalami naik turun selama dua tahun terakhir akibat pandemi COVID-19. Tidak pastinya makro ekonomi global membuat para investor menghindari pembelian saham perusahaan yang memiliki risiko tinggi. Akibatnya, perusahaan sulit memperoleh modal usaha yang membuat operasionalnya juga terhambat. Adanya kenaikan inflasi dan suku bunga di berbagai negara turut memengaruhi perusahaan rintisan ini. Terutama perusahaan yang menggunakan model bisnis Business to Customer (B2C). Inflasi tersebut bisa mengubah perilaku atau pola hidup konsumen sehingga berdampak pada layanan-layanan yang disediakan. Di sisi lain, bagi perusahaan itu sendiri, tingkat produktivitas mereka mungkin akan terpengaruh sebab, perusahaan harus tetap beroperasi dengan tenaga kerja terbatas. Gelombang PHK masih terus menghantui dunia ketenagakerjaan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Ancaman PHK tidak hanya melanda perusahaan di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri.

banner 325x300