HeadlineNasionalVideo

Sistem Pemilu Tak Ada Dalam Konstitusi, MK Tidak Punya Alasan Batalkan Proporsional Terbuka 

344
×

Sistem Pemilu Tak Ada Dalam Konstitusi, MK Tidak Punya Alasan Batalkan Proporsional Terbuka 

Share this article
ujar anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa.
ujar anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa.

G24NEWS.TV, JAKARTA – Konstitusi UUD 1945 tidak mengatur sistem pemilu baik proporsional terbuka maupun tertutup, hanya menjelaskan soal partai politik sebagai peserta Pemilu, ujar anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa.

Karena itu, Mahkamah Konstitusi menurut dia tidak tidak memiliki alasan dan landasan untuk membatalkan membatalkan proporsional terbuka yang kini berlaku sebagai sistem Pemilu di Indonesia dalam dalam judicial review terhadap Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2017.

“Pasal 22E UUD 1945 sama sekali tidak mengatur sistem Pemilu. Sebagai norma tertinggi, UUD 1945 hanya mengatur partai politik sebagai peserta pemilu, itu sesuai Pasal 22E ayat 3,” kata Agun dalam keterangannya.

Menurut Agun, penentuan sistem pemilu adalah kewenangan dan ranah pekerjaan ranah DPR dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU aturan di bawah konstitusi.

Setelah 8 dari 9 fraksi di DPR menolak pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup, maka MK kehilangan landasan untuk membatalkan sistem proporsional terbuka yang saat ini berlaku.

Perbaiki Tata Kelola Parpol

Menurut Agun, sistem proporsional terbuka sebenarnya memperluas kesempatan bagi warga negara untuk memilih dan dipilih pada jabatan politik atau publik, termasuk menjamin hak-hak asasinya.

Baca Juga  Pertahankan Nomor Urut 4, Airlangga Hartarto : Angka Empat Sesuai dengan Visi dan Tujuan Golkar

Menurut Agun, alasan gugatan UU Pemilu untuk memperkuat partai politik tidak memiliki dasar yang kuat.

Penguatan partai politik menurut dia tidak dilakukan melalui sistem pemilu, tapi tata kelola parpol dalam menjalankan fungsi rekrutmen.

Agun mengutip professor ilmu politik Harvard University, Pippa Norris dalam buku “Recruitment: Handbook of Party Politics (2006)”  menyatakan bahwa parpol dalam menjalankan fungsi rekrutmen harus mampu menjamin kapasitas, kapabilitas, dan integritas (eligible), berbasis dukungan masyarakat, teruji akuntabilitas publik dan elektabilitas kandidatnya.

Pandangan lain yang bisa dijadikan referensi adalah Stefano Bartolini dan Peter Mair yang menulis Challenges to Contemporary Political Parties (2001), juga Jaroslaw Szymanek dalam Theory of Political Representation (2015).

“Mereka menyatakan bahwa penguatan parpol sangat bergantung pada fungsi representasinya, yakni dalam menjalankan fungsi artikulasi, agregasi dan pembentukan kebijakan,” kata Agun.

Rujukan lain adalah Thomas Meyer, ilmuwan politik asal Jerman, yang menyatakan bahwa parpol satu-satunya institusi publik yang mampu mengagregasi kepentingan masyarakat ke dalam hukum perundang-undangan dan kebijakan publik, serta mentransformasikan berbagai kepentingan masyarakat dalam bentuk program kerja yang harus diperjuangkan dalam kebijakan publik.

Baca Juga  Tegakan Keadilan Pemilu Melalui Sengketa Proses Pemilu

Proporsional Terbuka Lebih Jamin Hak Asasi Manusia

Bahkan John Ishiyama, profesor riset ilmu politik di Universitas Texas, Amerika Serikat, yang menulis Political Parties, Democracy, and Good Governance, menyatakan bahwa parpol berfungsi membentuk good governance, yaitu membentuk pemerintahan efektif, mengendalikan korupsi, dan mewujudkan stabilitas politik.

“Penguatan parpol bukan ditentukan oleh sistem Pemilu, melainkan oleh tata kelola partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen dan fungsi representasinya,” kata Agun.

Karena itu, gugatan UU Pemilu tidak relevan dan tidak memiliki alasan dan landasan hukum konstitusional. Justru sistem yang saat ini berlaku malah lebih menjamin HAM bagi setiap warga negara dalam menjalankan hak politiknya untuk dipilih dan memilih.

 

 

 

 

 

banner 325x300