DaerahHeadline

Kualitas Udara Jakarta Buruk Terburuk Ketiga di Dunia, Sudah Mulai Jatuh Korban  

14149
×

Kualitas Udara Jakarta Buruk Terburuk Ketiga di Dunia, Sudah Mulai Jatuh Korban  

Share this article
General view of the Indonesian capital city of Jakarta as the smog covers the city
Pemandangan Jakarta yang tertutup kabut. (Foto file - Anadolu Agency )

G24NEWS.TV, JAKARTA – Kualitas udara di Jakarta berdasarkan data IQAir menduduki posisi ketiga sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, Kamis (15/6) pukul 13.15 WIB, menurut laporan Antara

Kualitas udara di Jakarta mencapai AQI US 141 atau berada di posisi ketiga udara terburuk setelah Minneapolis, Amerika Serikat yang berada di urutan pertama dengan AQI US 191 dan Doha, Qatar di urutan kedua dengan AQI US 149.

Kemudian, tingkat konsentrasi PM2.5 Jakarta saat ini pada level 52 µg/m³.

Sementara itu, peringkat kualitas udara Jakarta saat ini berada pada indikator oranye yang artinya tidak sehat bagi kelompok sensitif.

Sedangkan indikator merah merujuk pada kualitas udara yang tidak sehat dibandingkan dengan kota lainnya di dunia, lalu ungu sangat tidak sehat, hitam berbahaya, hijau baik dan kuning sedang.

Korban Kualitas Udara Buruk 

Kualitas udara di Jakarta yang buruk menelan korban, yaitu seorang anak berusia lima bulan yang menjalani sejumlah perawatan karena dicurigai terlalu banyak menghirup polutan. 

Kompas.com mengutip unggahan @pandemictalks menceritakan apa yang dialami oleh bayi dari Hanan, anak dari Kharisma Suhardi (26). 

Dalam unggahan tersebut disebutkan awalnya, bayi Hanan mengalami batuk pilek sejak Senin (29/5). Icha, sapaan Kharisma Suhardi menyangka sakit biasa karena baru mudik dari Sumatera Barat. 

Baca Juga  Stafsus Presiden: Jakarta Masih Berstatus Daerah Khusus Ibu Kota

“Sepulang mudik, Hanan masih sehat. Namun, Senin pagi mulai muncul gejala flu, bersin-bersin. Malamnya, hidung pilek dan mulai batuk-batuk,” ujar Icha. 

Gejala tersebut memburuk pada hari berikutnya dan Hanan mulai rewel tidak bisa tidur. 

Bayi Hanan akhirnya dibawa ke rumah sakit di daerah Bintaro,  Tangerang Selatan, Banten. Di tempat itulah dia melihat banyak bayi dengan gejala serupa. 

Di tempat itu, Icha bertanya-tanya apa penyebab sakit anaknya ktu, namun belum ada jawaban memuaskan. 

Hingga Icha menyadari bahwa banyak bayi dan balita yang mengalami gejala serupa dengan Hanan. Saat itulah Icha mulai yakin bahwa sebab dari semua gejala yang dialami anaknya adalah udara Jakarta yang memburuk.

“Ada yang gejalanya sama flu juga. Ada yang keluhannya diare dan muntah-muntah,” ucap Icha. Menurut dokter, ucap Icha, anaknya itu harus dirawat karena gejala sesak napas yang dialami Hanan. 

“Napas Hanan itu 60 per menit, yang wajarnya 40 kata DSA (dokter spesialis anak),” ucap Icha. 

Ilustrasi Kualitas udara jakarta
Ilustrasi Kualitas udara jakarta

Buruknya Kualitas jadi Penyebab Berbagai Penyakit

Secara umum paparan polusi bisa menyebabkan gangguan pada tubuh seperti batuk, nyeri tenggorokan, hidung berair, hingga sesak napas. Gejala seperti ini bisa berlanjut hingga seseorang mengalami sakit kepala, lemas, dan mual.

Polutan yang ada pada udara masuk ke dalam tubuh dan mengikat hemoglobin sehingga aliran oksigen dalam darah menjadi berkurang. Kondisi ini dalam jangka panjang akan menurunkan fungsi paru-paru. 

Baca Juga  Program Ridwan Kamil di Partai Golkar: Ingin Anak Muda Melek Politik

Berbagai penyakit, seperti asma, pneumonia atau radang paru, tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik, dan kanker, pun bisa terjadi. Selain itu, risiko penyakit lain, yakni jantung dan stroke, dapat muncul. Kematian dini pun bisa terjadi akibat paparan polusi udara.

Dikutip dari Kompas.id, Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Agus Dwi Susanto mengatakan dalam sebuah riset pada 2019, setiap ada peningkatan polutan PM 10 (partikel udara yang lebih kecil dari 10 mikron atau mikrometer), jumlah kunjungan ke Rumah Sakit Persahabatan karena asma dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronis) meningkat. 

Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara peningkatan polutan dengan meningkatnya kasus serangan asma dan gangguan pernapasan lainnya. 

Pada studi lain yang dilakukan di RS Umum Pusat Persahabatan dan RS Kanker Dharmais pada 2013 juga menunjukkan 4 persen kasus kanker paru yang bukan perokok. Dari jumlah itu, diketahui kanker paru yang dialami terkait dengan polusi udara.

Dari 300 pasien kanker paru, ternyata ada 4 persen yang disebabkan oleh polusi. Mereka tidak merokok, namun diketahui bekerja di lingkungan yang terpajan polusi udara. 

 

banner 325x300