Politik

Ketua MPR RI: Majelis Kehormatan Tidak Bisa Ubah Hasil Keputusan MK

157
×

Ketua MPR RI: Majelis Kehormatan Tidak Bisa Ubah Hasil Keputusan MK

Share this article
Politisi Golkar dan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Foto: Ist
Politisi Golkar dan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Foto: Ist

G24NEWS.TV, JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak bisa mengubah hasil gugatan yang sudah diputus oleh MK.

Hal ini disampaikan Bambang Soesatyo (Bamsoet) saat memberikan materi mata kuliah Politik, Hukum dan Demokrasi, di mahasiwa S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur.

Dia mengatakan sebagaimana ditekankan Ketua MKMK yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, bahwa berdasarkan kewenangan yang ada, sejatinya MKMK tidak bisa mengubah hasil gugatan yang sudah diputus oleh MK.

Sesuai ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

“Dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No.8/2011 Tentang Perubahan Atas UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), menyebutkan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh,” jelas Bamsoet, dalam keterangannya, dikutip Senin (6/11/2023).

Putusan MK Berkekuatan Hukum Mengikat

Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat. Walaupun putusan MK final dan binding serta tidak ada upaya lain untuk merubahnya, pembentukan MKMK tetap menemukan urgensinya.

Baca Juga  Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilu di Bandung Selesai, Prabowo-Gibran Menang

“Salah satunya untuk menjamin tegaknya kode etik dan pedoman perilaku hakim MK,” ujar Bamsoet saat mengajar mata kuliah Politik, Hukum, dan Demokrasi, di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (4/11/23).

Dia mengemukakan tidak hanya di MK, lembaga penegak kode etik juga terdapat di berbagai lembaga negara.

Antara lain, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Ada juga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota.

Maupun Komisi Yudisial (KY) untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung serta menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

“Dalam Konvensi Nasional tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang diselenggarakan MPR RI, KY, DKPP, dan pihak terkait lainnya, telah diusulkan pentingnya Indonesia membentuk Mahkamah Etik (peradilan etik)”.

Baca Juga  Bamsoet Hormati Putusan PTUN yang Kabulkan Gugatan Fadel Muhammad

“Landasan pembentukannya bisa mengacu kepada TAP MPR Nomor VI MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” jelas Bamsoet.

Bamsoet menerangkan Mahkamah Etik akan menjadi ujung dari proses penegakan etik.

Sehingga setiap putusan etika yang diputuskan berbagai penegak kode etik yang terdapat di berbagai lembaga negara maupun organisasi profesi, tidak lagi dihadapkan dengan peradilan umum.

Para pencari keadilan yang divonis bersalah secara etika oleh masing masing penegak kode etik, bisa mengajukan banding di Mahkamah Etik.

“Karena ketiadaan Mahkamah Etik, saat ini orang yang diputus melakukan kesalahan etika oleh masing-masing penegak kode etik, mengajukan banding atau mencari keadilan ke peradilan umum, entah melalui Mahkamah Agung maupun PTUN”.

“Padahal antara etika dan hukum, adalah dua hal yang berbeda. Orang yang bersalah secara etika, belum tentu bersalah di mata hukum. Namun yang bersalah di mata hukum, sudah pasti bersalah di mata etika,” pungkas Bamsoet.

Email: Nyomanadikusuma@G24 News
Editor: Lala Lala

banner 325x300