Politik

Pemilu Indonesia, Anomali Tradisi Konflik Politik

32
×

Pemilu Indonesia, Anomali Tradisi Konflik Politik

Share this article
Pemilu Indonesia, Anomali Tradisi Konflik Politik
Pemilu Indonesia, Anomali Tradisi Konflik Politik

G24NEWS.TV, JAKARTA –  Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan pemilu Indonesia anomali tradisi konflik politik.

Sekeras apa pun kompetisi dalam pemilu atau pilkada, jika terjadi keberatan, komplain, dan persengketaan hasil pemilu, pilihannya adalah dibawa ke lembaga yang sudah disiapkan, yaitu Mahkamah Konstitusi.

“Walaupun catatan para pihak yang mengajukan gugatan itu banyak, tidak selalu kemudian catatan gugatan itu negatif, tetapi justru di satu sisi punya nilai yang positif. Penyelesaian Konflik, penyelesaian persengketaan hasil pemilu dibawa kepada jalur pencarian keadilan, pintu-pintu keadilan yang telah disiapkan,” kata Hasyim.

Menurut Hasyim, dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada kekerasan fisik semakin hari semakin berkurang, bahkan hampir tidak ada. Sebuah kehormatan, jika dibandingkan dengan peta pemilu di negara-negara lain yang menganut demokrasi elektoral.

“Sebagaimana kita ketahui misalkan, kalau berdasarkan populasi, maka peringkat pertama adalah negara yang menjalankan demokrasi elektoral adalah India. Tetapi pandangan-pandangan yang negatif juga muncul karena isu-isu etnis, kemudian sentimen agama. Isu etnis dan sentimen agama jadi pandangan negatif karena digunakan sebagai sarana untuk berkompetisi di sana,” lanjutnya.

Declined Democration, kata Hasyim merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan kemunduran demokrasi di negara tersebut. Sementara Indonesia menjadi sorotan tajam karena konflik dan kompetisi yang begitu ketat, terutama dalam pemilu presiden, dan isu-isu sara cukup menyelimuti pemilu.

Baca Juga  Ini 9 Pelanggaran Pemilu yang Sering Terjadi

Di mulai dari Pilkada DKI Jakarta, dan Pilkada 2018 yang akhirnya puncaknya pada Pemilu 2019.

Namun demikian, ada satu hal yang menarik, jika dibuat konstruksi akademik bahwa konsekuensi sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemilunya menggunakan sistem suara terbanyak atau istilahnya The Winners Take All.

Artinya,  yang menang mengambil semua, yang kalah kemudian berada di luar,  menjadi bagian dari oposisi.  Kemudian baru ikut lagi lima tahun berikutnya.

“Rupa-rupanya teori ini kalau digunakan untuk membaca Indonesia, kemudian kesannya yang terjadi di Indonesia itu anomali, mengapa? Karena begitu Pak Jokowi sebagai kontestan pemilu presiden menang dan kemudian tidak terlalu lama mengakomodir Pak Prabowo sebagai kompetitornya masuk ke dalam bagian dari kabinet, dan alhamdulillah Pak Prabowo bersedia untuk masuk dalam kabinet,” tambah Hasyim.

Terkait realitas politik Indonesia, Hasyim menjelaskan ada dua tingkatan koalisi dalam perpolitikan di Indonesia. Pertama koalisi untuk pencalonan. Kedua setelah pemilu selesai, sudah diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah, kemudian yang menang melakukan koalisi baru dalam pembentukan pemerintahan, yaitu menggandeng atau mengundang partai-partai politik yang semula lawan politik masuk ke dalam kabinet, sehingga tidak terjadi kehawatiran tentang keterbelahan antara DPR dengan Presiden.

Baca Juga  Sidik Jafar Ungkap Keuntungan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

Hasyim juga menegaskan Kemudian dalam konstruksi di UU Pemilu, KPU selalu menjadi ‘ter’, baik itu Terlapor di Bawaslu, Termohon di Bawaslu, Teradu di DKPP, Termohon di MK, Tergugat di PTUN, di MA.

“Konstruksi seperti ini secara hukum harus kita hadapi dengan persiapan mental, karena memang desainnya seperti ini. Mengapa desain UU nya seperti itu, karena kalau kita baca lagi UU Pemilu maka sesungguhnya kewenangan dalan penyelenggaraan pemilu yang diberikan kepada KPU itu begitu besar,” ungkapnya.

Hasyim juga menambahkan, jika situasi tersebut harus dikonkretkan, dijawab dengan bekerja secara optimal, secara maksimal, sesuai dengan asas penyelenggara pemilu, di antaranya bekerja secara profesional, cermat, berdasar hukum, kemudian tepat waktu, akuntabel, dan transparan.

“Ini menjadi sesuatu yang penting, karena integritas pemilu, yaitu integritas proses maupun integritas hasil, di antarannya ditentukan oleh integritas penyelenggara pemilu,” pungkasnya.

Turut hadir Kepala Biro Advokasi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Setjen KPU, Andi Krisna, Kabid Program dan Penyelenggaraan MK, Nanang Subekti, serta peserta yang terdiri dari Anggota KPU Provinsi, Kabag dan Kasubbag yang mengampu Divisi Hukum dari 19 Provinsi, serta 25 peserta dari Sekretariat Jenderal KPU.

Email: DharmaSastronegoro@G24.News
Editor: Lala Lala

banner 325x300