Penulis; Imam Mudofar, S.Hum, Alumni Golkar Institute Batch 9.
G24NEWS.TV, JAKARTA — Guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Kacung Marijan menyebutkan ada ada tiga sistem yang digunakan oleh negara-negara di dunia dalam menyelenggarakan pemilu. Yaitu sistem pluralitas, sistem proporsional dan sistem mixed/campuran.
Sistem pluralitas ini sering juga disebut sistem distrik yang digelar berdasarkan suatu kesatuan geografis. Setiap distrik memiliki satu wakil di dewan perwakilan rakyat.
Seseorang yang memperoleh suara mayoritas di suatu distrik akan menduduki kursi di parlemen mewakili distrik itu. Kanada, Amerika Serikat, Inggris dan India adalah negara-negara yang menggunakan sistem distrik pada pemilu di negaranya.
Sistem proporsional adalah yang membagi kursi di lembaga parlemen sesuai dengan perolehan suara masing-masing partai politik. Dalam sistem ini, para pemilih akan memilih partai politik, bukan calon perseorangan seperti dalam sistem distrik.
Sistem proporsional ini juga terbagi dalam dua konsep. Yaitu proporsional tertutup dan proporsional terbuka.
Pada sistem proporsional tertutup, pemilih memilih nama partai politik tertentu dan kemudian partai yang menentukan nama – nama yang duduk menjadi anggota dewan.
Sedangkan system proporsional terbuka pemilih mencoblos partai politik ataupun calon bersangkutan, pada sistem ini pemilih dapat langsung memilih calon legislatif yang dikehendaki untuk menjadi anggota parlemen.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan sistem ini dalam hajat demokrasi. Selain Indonesia, ada Ukraina, Venezuela, Bolivia dan Romania.
Terakhir, sistem mixed atau campuran . Sistem ini pada dasarnya berusaha menggabungkan apa yang terbaik di dalam sistem distrik dan sistem proporsional. Hal-hal baik yang dianggap ada di sistem pluralitas atau distrik dapat digunakan dan nilai-nilai baik yang ada pada sistem proporsional juga bisa digunakan.
Pada sistem ini sedikitnya ada dua sistem pemilu yang menggunakan formula berbeda namun bisa berjalan berdampingan. Pertama, Mixed Member Proportional (MMP), yakni kursi-kursi proporsional diberikan sebagai kompensasi bagi setiap disproporsionalitas dalam hasil-hasil yang dimunculkan sistem pluralitas/mayoritas.
Kedua, sistem paralel, yakni pilihan diungkapkan oleh para pemilih untuk memilih wakil-wakil melalui dua sistem berbeda. Satu sistem daftar proporsional dan satu sistem pluralitas/mayoritas, tetapi tidak ada pertimbangan tentang kursi-kursi yang dialokasikan dengan sistem yang pertama ini dalam memperhitungkan hasil dalam sistem kedua. Negara-negara yang menggunakan sistem ini di antaranya Rusia, Italia, Kroasia dan Albania.
Sistem Pemilu di Indonesia dari Masa ke Masa

Sejatinya dalam catatan sejarah pemilu di Indonesia hanya ada satu sistem yang digunakan, yakni sistem proporsional. Pada pemilu tahun 1955, ritme demokrasi di Indonesia yang notabene kala itu baru sepuluh tahun merdeka muncul dengan penuh geliat.
Pada tahun itu bisa dibilang Indonesia betul-betul memulai menjadi bangsa yang besar dengan menerapkan sistem demokrasi yang dijalankan secara murni oleh seluruh anak negeri. Partai-partai seperti PNI, Masyumi, PNU dan PKI saling berlomba untuk menarik minat rakyat.
Saat itu, sistem yang digunakan ada sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999.
Pasca reformasi dan pemilu 1999, sistem proporsional tertutup ini mulai dievaluasi. Berbagai narasi ihwal kekurangan dan kelemahan pemilu dengan menerapkan sistem proporsional tertutup mulai dikaji.
Kelemahan tersebut sangat jelas dalam beberapa aspek fundamental, antara lain, kedaulatan partai mereduksi kedaulatan rakyat, hubungan anggota legislatif dan para pemilih berjarak lebar, pemilih tidak punya peluang untuk menentukan wakil yang dikehendakinya, kader parpol cenderung mengakar ke atas bukan ke bawah, demokrasi menjadi elitis karena didominasi oleh segelintir oligarki, dan seterusnya.
Alhasil pemilu dengan sistem proporsional terbuka dipandang dapat menjadi antitesis dari evaluasi sistem proporsional tertutup yang sudah berjalan sejak 1955.
Sejak pemilu 2004, sistem proporsional terbuka mulai diterapkan. Meskipun di tahun 2004, banyak peneliti yang menyebutkan jika pada tahun itu, sistem pemilunya belum benar-benar terbuka atau masih semi terbuka. Baru pada Pemilu 2009, pemilu dengan sistem proporsional terbuka mulai diterapkan. Dilanjutkan di pemilu 2014 dan 2019.
Mana yang Lebih Baik?
Meski demikian, pada akhirnya kita harus menyamakan persepsi bahwasannya tidak ada satupun sistem yang sempurna. Ketidaksempurnaan sebuah sistem ini berlaku di berbagai aspek.
Tidak hanya urusan soal pemilu semata. Sistem proporsional terbuka juga tetap memiliki kelebihan dan kekurangan. Hanya saja pada konteks hari ini ketika muncul kembali isu pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup, tentu ini sebuah kemunduran demokrasi.
Dalam sistem proporsional terbuka, ada keseimbangan antara hak partai dan hak rakyat. Partai mengusulkan nama-nama calon, dan rakyat diberi kebebasan untuk memilih calon mana yang dipercaya untuk mewakilinya.
Demokrasi yang kokoh, stabil dan dewasa ditandai oleh budaya politik yang menghargai kompetisi, perbedaan pendapat dan pilihan, toleransi yang asli bukan pura-pura, rasionalitas dalam bersikap dan memilih, komunikasi politik yang terbuka, partisipasi masyarakat yang otonom, dan kesetaraan dalam mobilitas vertikal individu atas dasar kompetensi dan kualitas diri.
Catatan sejarah di masa lalu sudah mengevaluasi sedemikian rupa soal sistem proporsional tertutup sehingga dinyatakan tidak lagi relevan untuk digunakan. Rakyat menjadi elemen penting yang memiliki kedaulatan atas dirinya untuk memilih dan menyalurkan aspirasinya.
Bahkan tidak hanya berdaulat untuk memilih partainya semata. Rakyat juga memiliki kedaulatan untuk memilih dan menentukan siapa orang yang akan mereka pilih untuk mewakili suara-suara mereka di parlemen.
Alangkah lebih elok jika tawaran yang dimunculkan itu bukan kembali ke sistem proporsional tertutup, tapi menyempurnakan (atau setidaknya memperbaiki) sistem proporsional terbuka. Karena dengan mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka, artinya kita sedang menjaga kedaulatan suara dan pilihan dari pribadi-pribadi seluruh rakyat Indonesia.