Karya dan Gagasan

[KOLOM] Israel dan Ambivalensi Cara Berpikir Kita

146
×

[KOLOM] Israel dan Ambivalensi Cara Berpikir Kita

Share this article
Bendera Israel di kejauhan
Bendera Israel di kejauhan (Foto File Anadolu Agency)

SUDAH sejak 24 November 2019, FIFA mempercayakan Indonesia sebagai lokasi penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Ketika itu kita berhasil “mengalahkan” Brasil dan Peru, dua negara pemilik budaya sepakbola yang jauh lebih maju dan mapan ketimbang Indonesia.

Proses pun berlanjut, beberapa tempat disepakati (karena memenuhi kualifikasi dari FIFA) sebagai lokasi terperinci dari gelaran olahraga kelas dunia tersebut. Di antaranya Stadion Jakabaring (Palembang, Sumatera Selatan), Stadion Utama Gelora Bung Karno (DKI Jakarta), Stadion Si Jalak Harupat (Bandung, Jawa Barat), Stadion Manahan (Solo, Jawa Tengah), dan Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya, Jawa Timur).  Seluruh “penguasa” dari lokasi penyelenggaraan yang memenuhi kualifikasi tersebut menyepakati daerahnya dijadikan tuan rumah Piala Dunia U-20.

Tiga tahun pun berlalu, pada tanggal 25 Juni 2022, Israel lolos kualifikasi dan status kelulusannya tidak dipermasalahkan oleh semua pengampu kebijakan politik (karena ada statemen dari pemerintah pada tahun 2021 yang menyatakan, siapapun yang lolos kualifikasi (termasuk Israel) akan diakomodir untuk tetap bisa bermain di Indonesia).

Tiba-tiba pada tanggal 14 Maret 2023, Gubernur Bali I Wayan Koster mengirimkan surat penolakan drawing bagi timnas Israel untuk ikut serta berlaga dalam gelaran Piala dunia U-20 yang ditujukan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga (dan suratnya bocor ke publik tanggal 21 Maret 2023).

Sembilan hari setelahnya (tanggal 23 Maret 2023), Ganjar Pranowo memberikan statement penolakan yang membersamai sikap politik yang diambil rekan separtainya I Wayan Koster. Mirisnya, hal ini menjadikan FIFA mengambil sikap untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah gelaran olahraga bergengsi tersebut.

Timeline yang penulis sajikan adalah gambaran singkat, rancunya sikap nyeleneh dan insubordinasi dari dua Gubernur yang menolak timnas Israel untuk bertanding di Indonesia (padahal Presiden dan Pemerintah Pusat tidak ada masalah sama sekali). Karena lolosnya timnas Israel sebagai peserta Piala Dunia U-20, sudah sejak tahun lalu, namun mengapa di detik-detik akhir menuju pertandingan awal, baru mereka “mendadak Palestina” dan “mendadak Soekarno”.

Ada setidaknya tiga hal yang akan penulis kritik dalam tulisan ini. Pertama adalah berkaitan dengan dicatutnya fundamen konstitusi kita (Alinea pertama pembukaan UUD 1945) dalam argumentasi penolakan mereka kepada timnas Israel untuk bisa berlaga di Tanah Air.  Kedua adalah soal sikap ketidakintegralan (in-subordinasi) dari dua Gubernur yang menolak timnas Israel (padahal Presiden mendukung penuh). Hal ketiga adalah soal ambivalensi sikap kita terhadap Israel dan Bangsa Yahudi.

Baca Juga  Indonesia vs Palestina: Naikkan Peringkat FIFA sampai Dukung Kemerdekaan

Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa

Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Kalimat di dalam Alinea pembukaan UUD 1945 tersebut, berisi cita-cita dan tujuan dari bangsa Indonesia yang mendasari kemerdekaannya dan menjadi semangat untuk menularkannya kepada negara dan bangsa lain di dunia. Namun tidak diperinci mengenai “siapa” dan “bagaimana” cita-cita atau tujuan tersebut diimplementasikan.

Mengapa demikian? Karena yang dapat menjawab siapa dan bagaimana (cara mewujudkannya) hanya waktu. Para pendiri Republik ini, sadar betul, bahwa mapping geopolitik, adalah sesuatu yang sifatnya hyper-dinamis, dia bisa berubah kapan saja. Cara untuk turut serta di dalamnya-pun senantiasa kongruen dengan berubah-ubahnya peta geopolitik tersebut.

Maka dari itu jika 50 tahun yang lalu mungkin menolak bertanding dengan Israel adalah keputusan yang sudah tepat jika dikalkulasikan dengan peta besar percaturan politik dunia ketika itu. Sikap itu bisa saja meresonansikan pengaruh politik terhadap penjajahan Israel.

Namun jika itu dilakukan di zaman digital sekarang, saat realitas sosial dan virtual menjadi bias dan perang tidak lagi hanya bersifat simetris dan asimetris namun sudah menuju e-simetris (arah perang ditentukan dengan penguasaan terhadap data elektronik atau digital) bagaimana mungkin sikap ini menjadi relevan dan memberikan efek determinan terhadap perdamaian di Palestina?

Justru bisa jadi, keputusan politik yang dahulu diambil oleh Gus Dur (dengan cara berteman dengan Israel) adalah cara yang paling relevan dan rasional, agar bangsa kita punya bargaining position dalam melobi Israel terkait perdamaian di Palestina.

Caranya berbeda, namun tujuannya sama, perdamaian dan kemerdekaan Palestina!!! Itulah mengapa para pendiri Republik ini tidak mendikte kita tentang cara melaksanakan alinea pembukaan UUD 1945 tersebut. Karena kecerdasan visioner mereka mampu menangkap realitas geopolitik yang senantiasa berubah-ubah tersebut. Maka pencatutan alinea pertama UUD 1945 menjadi unrelevan jika dihubungkan dengan sikap penolakan timnas Israel untuk berlaga di Indonesia, bila cara membacanya sudah old fashion dan tertinggal puluhan tahun dari dinamisnya pergolakan peta geopolitik dunia.

Insubordinasi

Yang kedua, menyoal insubordinasi (ketidakintegralan sikap) dari dua Gubernur (Koster dan Ganjar) kepada Presiden Jokowi dan jajaran Pemerintah Pusat. Pasal 5 UU No. 23 tahun 2014 menyatakan bahwa, pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan di daerah, dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Baca Juga  Tanggapan Sarmuji Soal Duet Ganjar–Airlangga Muncul di Simulasi Survei

Presiden melimpahkan kewenangannya dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Jadi tugas Gubernur simple-nya hanya dua, yang pertama menjadi perpanjangan kuasa pemerintah pusat di daerah (wakil pemerintah) dan yang kedua membantu Pemerintah Pusat (Presiden dan Jajarannya).

Jika ada Gubernur yang malah memotong kuasa pemerintah di daerah (dengan menunjukkan sikap yang insubordinasi dengan Presiden dan Jajaran Pemerintah Pusat lainnya) dan kemudian tidak membantu (kalau tidak boleh dikatakan menyusahkan) usaha-usaha Pemerintah Pusat di dalam penyelenggaraan negara, berarti Gubernur tersebut telah melanggar regulasi/fundamen hukum.

Sikap pelanggaran terhadap hukum berarti berdampak pada statusnya sebagai Gubernur (determinasinya adalah proses pemberhentian jabatan). Menurut penulis, ini adalah logika hukum sederhana yang dapat dijadikan acuan oleh Presiden dalam menanggapi Gubernur atau Pemerintah Daerah yang mbalelo (insubordinasi).

Terakhir pada saat pelaksanaan acara Inter-Parliamentary Union (P20) sebagai rangkaian acara G20, perwakilan Parlemen Israel hadir pada saat itu dan tidak menimbulkan kegaduhan sama sekali (padahal mereka jelas-jelas politisi dan bukan pemain bola).

Setiap harinya kitapun memakai dan mengkonsumsi produk-produk dari Israel (pada khususnya) dan Bangsa Yahudi (pada umumnya). Belum lagi produk dari bangsa dan negara lain yang “mensuport” penjajahan Israel terhadap Palestina dengan beragam turunan atau derivasi politiknya. Kita pun sampai saat ini masih menonton karya-karya yang menampilkan seniman-seniman mereka.

Berapa banyak juga pengetahuan dan pertukaran teknologi yang sudah kita dapatkan dari sana. Maka kalau kita ingin menolak Israel dan Yahudi, harusnya kita menolak segala hal yang berasal dari sana, jangan tebang pilih, dan apakah itu dimungkinkan? Penulis rasa tidak.

Maka dari itu, sudahilah seluruh sikap dan pikiran kita yang ambivalen terhadap Israel dan Bangsa Yahudi. Sudah saatnya bangsa kita bangkit secara rasional dan berdiri secara intelektual dalam mengambil sikap dan kebijakan dalam sega lini dan aspek kebangsaan!!!

Ditulis oleh Ficky Utomo, Dosen Ilmu Filsafat dan Alumni Young Political Leader Golkar Institute

 

 

banner 325x300