G24NEWS.TV, JAKARTA – Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda berharap Identifikasi Risiko Tahapan Pencalonan Anggota DPR; DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota segera rampung.
Hal tersebut dikatakan Herwyn saat menutup Diskusi Kelompok Terpumpun yang digelar oleh Puslibatbang Diklat Bawaslu di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (31/3/2023).
“Ke depan indentifikasi mudah-mudahan bisa dilakukan. Sambil menunggu KPU menyusun PKPU pencalonan,” ungkapnya.
Herwyn menambahkan, diskusi kelompok terpumpun yang dihadiri oleh Bawaslu provinsi seluruh Indonesia ini akan digelar beberapa kali. Guna memaksimalkan penyusunan Identifikasi Risiko Tahapan.
“Setelah ini akan ada pertemuan selanjutnya. Mengikuti perkembangan dari situasi pencalonan. Kerja-kerja pencegahan harus dioptimalkan,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Puslitbang Diklat Ibrahim Malik menuturkan, Bawaslu perlu berkonsentrasi pada pelanggaran peserta pemilu partai politik
Dimana yang menjadi Prinsipil dalam penanganan pelanggaran pemilu, pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu terpusat pada pengurus parpol.
“Harus tetap mematuhi kode etik penyelenggara pemilu yang berlaku di DKPP dalam melakukan pengawasan tahapan pemilu,” ungkapnya.
Dikatakan Malik, penyelenggara pemilu harus mengedepankan kualitas dibanding kuantitas partisipasi dalam penyelenggaraan, ini terkait dengan kualitas hasil pemilu dan tingkat pendidikan politik masyarakat Indonesia.
“Maka Bawaslu perlu menyusun strategi kebijakan yang terukur dalam menekan risiko potensi hoax dan politik identitas dengan menyesuaikan sistem pemilu,” ungkapnya.
Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan professional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.
Dalam melaksanakan tugasnya anggota Bawaslu didukung oleh Sekretariat Jenderal Badan Pengawas Pemilihan Umum.
Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, istilah pengawasan pemilu sebenarnya baru muncul pada era 1980-an.
Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu.
Pada era tersebut terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante.
Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, tetapi dapat dikatakan sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapan, kalaupun ada gesekan terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu.
Gesekan yang muncul merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan Pemilu di Indonesia yang paling ideal.
Email: DharmaSastronegoro@G24.News
Editor: Lala Lala
Editor: Lala Lala