Politik

Apatis Terhadap Politik, Seorang WNI Gugat UU Pemilu Soal Larangan Golput

27
×

Apatis Terhadap Politik, Seorang WNI Gugat UU Pemilu Soal Larangan Golput

Share this article
Kantor MK di Jakarta. Foto: MK
Kantor MK di Jakarta. Foto: MK
G24NEWS.TV, JAKARTA – Seorang WNI sebagai Pemohon bernama Jonatan Ferdy menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi soal golongan putih alias golput.
Dia mempersoalkan larangan tidak memilih dalam Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 515. Gugatan ini telah diregistrasi dengan Nomor 142/PUU-XXI/2023 ini.
MK mjuga enggelar sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan pada Kamis (9/11/2023) dengan dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Adapun norma pasal a quo berbunyi sebagai berikut; Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Dalam persidangan, Jonatan yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum mengatakan pemidanaan terhadap tindakan mendaklarasikan atau mengajak warga negara untuk menjadi golongan putih (golput) atau tidak menggunakan hak pilihnya tidak lagi relevan. Ia menilai pasal tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

“Dengan dilarangnya mendeklarasikan atau mengajak warga masyarakat golput pada saat pemungutan suara sudah kurang relevan lagi. Sebab, hal ini justru merusak citra demokrasi negara hukum yang selama ini telah dibangun. Di samping itu, dilihat dari sisi masyarakat justru mematikan sikap demokrasi dan penyampaian informasi bebas di muka umum,” terangnya di dalam persidangan, seperti dilansir dari katerangan MK.

Baca Juga  Prabowo Umumkan Gibran Jadi Bacawapres Koalisi Indonesia Maju

Apatis Terhadap Politik

Selanjutnya, dalam salah satu poin alasan permohonan, Pemohon menjelaskan bahwa banyak orang yang bersikap apatis terhadap politik tidak lagi peduli atau mencari tahu makna golongan putih serta risiko yang diakibatkannya karena keberlakuan tersebut.

Pemohon menekankan bahwa pernyataan atau ajakan untuk golput merupakan hak setiap warga negara, karena setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pikirannya, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Jonatan menerangkan, dalam pemberitaan Pemilu di media massa atau media sosial, ternyata tidak membuat semua orang mengetahui tanggal pasti diadakannya Pemilu 2024.

Kemudian pada Pemilihan Umum 2019 yang lalu, hasil survei LSI yang diadakan sebulan sebelum hari pencoblosan menunjukkan mayoritas tidak mengetahui tanggal pasti diadakannya Pemilihan Umum.

Selain itu, Jonatan mendalilkan banyaknya penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya untuk memberikan suara di hari Pemilihan Umum.

Sayangnya, keterbatasan yang dimiliki seringkali menghambat mereka dalam mencoblos.

Misalnya tidak ada bantuan untuk pergi menuju ke lokasi TPS dan tidak tersedianya surat suara khusus bagi disabilitas.

Menurutnya, seharusnya penyampaian berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan seharusnya dilindungi sesuai dengan amanah Undang-Unadalah hak setiap warga negara dan bukan kewajiban yang harus dilindungi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Untuk itu, Pemohon berharap agar MK menyatakan bahwa Pasal 515 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama dimaknai sebagaimana yang saat ini tertulis dalam teks UU Pemilu.

Baca Juga  Dave Laksono Bantah Ketum Golkar Terlibat Dalam Diskusi GMPG

Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Kontitusi Suhartoyo menyarankan pemohon untuk membaca Peraturan MK tentang tata beracara. Selain itu, ia menyebut dalam menguraikan kerugian konstitusional harus jelas.

Urai Anggaran Kerugian

“Nanti Jonathan bisa melihat putusan-putusan MK. Kemudian untuk legal standing, harus menguraikan anggapan kerugian konstitusionalnya apa”.

“Dalam uraian selanjutnya menguraikan tentang pemohon merupakan anak ketiga dan memiliki dua abang kandung, ini konteksnya apa? Dalam perspektif saudara ada kerugian konstitusional itu”.

“Harus tegas apakah saudara mempunyai hak pilih apakah ini kemudian apakah ini mengganggu hak konstitusional yang lain yang berkaitan sistem kepemiluan. Jadi harus clear dalam menguraikan kerugian konstitusional yang dirugikan,” urai Suhartoyo.

Sementara Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta pemohon untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional pemohon dengan berlakunya norma ini.

“Kalau tidak ada penjelasan anda bisa dianggap tidak memiliki legal standing. Lalu pasal di konstitusi mana yang dijadikan rujukan untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional itu,”terang Saldi.

Kemudian, sambung Saldi, belum terdapat penjelasan yang akurat yang dapat menjelaskan pasal yang diuji ini bertentangan dengan UUD 1945.

“Itu belum ada penjelasan, padahal itu yang akan dinilai nanti oleh Mahkamah bahwa ternyata bertentangan dengan UUD 1945 ternyata tidak. Jadi anda carikan itu mengapa Pasal 515 itu bertentangan dengan konstitusi,” pintanya.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lama diterima oleh Kepaniteraan MK pada Rabu, 22 November 2023 pukul 09.00 WIB.

Email: Nyomanadikusuma@G24 News

Editor: Lala Lala

banner 325x300