G24NEWS.TV, JAKARTA – China belum juga keluar dari gelombang pandemi COVID-19 setelah tiga tahun mengalaminya. Alih-alih mengetatkan aturan mobilitas penduduk, pemerintah malah mulai melonggarkan mitigasi Covid-19 yang telah diterapkan sejak 2020.
Ini adalah perubahan kebijakan pemerintahan Presiden Xi Jinping yang sebelumnya selalu membanggakan kesuksesannya mengendalikan penyebaran virus Covid-19 dibanding Amerika dan negara-negara barat lainnya, tulis VOX.
Meski Xi Jinping belum berkomentar, tapi terlihat bahwa para pemimpin China mulai kebingungan menghadapi gelombang protes menentang soal zero-COVID yang terjadi belakangan.
Para ahli meramalkan akan terjadi gelombang jauh lebih besar jika membiarkan masyarakat menjalani hidup seperti biasa saat virus menyebar.
Jika aturan ini benar-benar dicabut, ahli memperkirakan jumlah kematian yang meningkat didominasi oleh orang dewasa yang tidak divaksinasi.
Penduduk China Rentan
Dibanding negara-negara lain yang juga diserang virus COVID-19, penduduk China termasuk yang paling rentan. Meski tingkat vaksinasinya tinggi, mencapai 90 persen, namun jenis yang digunakan tidak seefektif yang digunakan di Amerika dan Eropa.
Salah satu faktor kerentanan di China adalah banyak penduduk lanjut usia yang belum mendapat vaksin booster. Situasi ini berbeda dengan negara lain yang memprioritaskan penduduk rentan seperti lansian untuk mendapatkan vaksin.
Hal inilah yang membuat China rawan kembali diserang pandemi Covid-19 dengan angka kematian yang tinggi, jika kebijakan Zero-Covid benar-benar dihentikan.
Banyaknya lansia yang rentan COVID-19 akan menyebabkan bertambahnya jumlah pasien yang akan membebani fasilitas kesehatan. Dikhawatirkan dokter dan tenaga kesehatan tidak mampu menangani lonjakan pasien tersebut.
Meski secara infrastruktur Tiongkok siap menghadapi Covid-19, namun tidak sejalan dengan jumlah tenaga kesehatan yang ada. Kekurangan staf dan habisnya tempat tidur yang tersedia bisa menyebabkan terulangnya kembali krisis Wuhan 2020.
Ahli ekonomi kesehatan dari Yale School of Public Health, Xi Chen mengatakan,”betapa mudahnya membebani sumber daya dan menghancurkan sistem kesehatan. Pembukaan lockdown ini akan membuat stress.”
Kebijakan Zero-COVID Sukses
Kebijakan zero-Covid di China terbilang sukses. Di luar Wuhan, angka penderita di Shanghai dan Hongkong lebih sedikit. Hal ini menandakan penanganan Covid-19 oleh pemerintah tidak buruk.
Namun virus Covid-19 mudah berevolusi, sehingga zero-Covid tak mungkin bertahan selamanya. Dengan jumlah penduduk sekitar 1,4 miliar, ratusan juta orang Tiongkok berisiko terkena Covid-19 untuk pertama kalinya.
Menurut data resmi, sekitar 90% masyarakat sudah divaksin. Namun hal tersebut tidak menjamin kemungkinan turunnya angka penderita baru.
China mengembangkan sendiri vaksinnya, dengan metode virus yang dilemahkan, berbeda dengan mRNA yang digunakan di Amerika dan Eropa. Vaksin Tiongkok belum begitu efektif, namun Xi Jinping menolak untuk menggunakan vaksin jenis mRNA.
Beban fasilitas kesehatan
Lansia adalah kelompok usia penerima vaksin paling sedikit di China, bahkan jumlah penerima vaksin booster jauh lebih sedikit. Pada Agustus 2022, hanya dua pertiga lansia di atas 60 tahun yang menerima booster.
Kebanyakan lansia di Tiongkok tidak menerima vaksinasi secara umum dari masa kecilnya. Sistem kesehatan Tiongkok menambah rumit situasi karena masyarakat harus ke klinik vaksinasi khusus untuk disuntik, padahal belum tentu semua lansia sanggup pergi ke klinik tersebut.
Wacana pembukaan perbatasan ini menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertanyaan. Namun nampaknya pemerintah Tiongkok diam-diam sudah mempersiapkan datangnya gelombang yang lebih besar dari sebelumnya.
Masyarakat dunia hanya berharap semoga jika pembukaan ini dilaksanakan, sistem kesehatan Tiongkok tidak ambruk sehingga menyebabkan angka kematian bertambah.